26/04/17

Peringati Hari Kartini Ke - 138, Dharma Wanita UNSOED Adakan Berbagai Rangkaian Acara

Serangkaian kegiatan bertemakan kewanitaan serta sejumlah kegiatan sosial dalam rangka memperingati Hari Kartini ke - 138 sukses digelar sekelompok kartini - kartini muda Dharma Wanita Universitas Jenderal Soedirman. 

Kegiatan rutin tahunan yang diketuai oleh Endang Istanti, SH, MM. ini diselenggarakan pada hari Rabu, 26 April 2017 bertempat di Gedung Soemardjito Unsoed. 

Serangkaian kegiatan yang rencananya akan dilakukan dua hari, pada tanggal 26 dan 27 April ini bertujuan untuk menghargai perjuangan Kartini dalam mengemansipasi wanita Indonesia untuk bisa sejajar dengan kaum pria.

"harapan kami, kami menunjukkan sebagai wanita indonesia kami menghargai jasa kartini dalam mengemansipasi wanita untuk sejajar dengan pria, untuk itu kami buktikan disini bahwa kami bisa berkarya dan bahkan banyak wanita - wanita di Unsoed ini yang memiliki jabatan lebih tinggi dari pria, dan juga kami melakukan sebisa mungkin yang terbaik untuk kelangsungan acara ini."

Kegiatan pada tanggal 26 April ini dilaksanakan dari pukul 08.00 WIB hingga  pukul 12.00 WIB dengan serangkaian acara seperti lomba membaca puisi oleh karyawati dari masing - masing Dharma Wanita Fakultas serta pusat administrasi, kegiatan seminar oleh dr. Susiana Candrawati, Sp. Ko. berjudul "Aktivitas Fisik Meningkatkan Kebugaran Fisik dan Kesehatan", bazar, senam, dilakukan pemberian dana orang tua asuh untuk anak - anak para cleaning service, satpam, penjaga dan sopir Unsoed. Kemudian kegiatan yang akan dilakukan pada hari berikutnya akan dilakukan kegiatan sosial yang bekerjasama dengan Kabupaten Cilacap.







28/03/17

Kenalkan Anak Pada Media Baru, Ya atau Tidak?

Seperti yang kita ketahui, teknologi komunikasi sampai saat ini telah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Inovasi seolah tiada henti menciptakan berbagai media baru yang dapat dengan mudah di akses oleh semua kalangan masyarakat. Mulai dari anak – anak hingga orang dewasa. Biasanya orang – orang menggunakan media baru untuk mempermudah kehidupnya seperti bekerja, berkomunikasi, mencari informasi, juga tak sedikit orang yang menggunakan media baru sebagai sarana hiburan. Pada Anak – anak, media baru mengisi waktu luang mereka di rumah ataupun di kelompok bermain sebagai sarana hiburan dan edukasi.

Hasil survei yang dilakukan Asosiasi Penyelenggara Internet Indonesia (APJII) terkait pengguna internet pada 2016 cukup mengejutkan karena hasil survei pada rentang usia anak sekitar 10-15 tahun mencapai 768 ribu pengguna. Hasil ini mengalami pertumbuhan 51,8 persen dari survei APJII 2014. Dalam konteks kajian, hal ini perlu kita bahas karena dapat kita simpulkan bahwa sebagian besar anak – anak di Indonesia telah mampu mengakses media baru sebagai sarana bermain mereka. Menurut data survei APJII pula, konten – konten yang sering di akses anak pada rentang usia 10-15 tahun ada berbagai macam seperti media sosial, menonton video di Youtube, dan bermain game online.

Walaupun media baru membawa dampak positif bagi penggunanya, namun bukan berarti media tidak memiliki sisi negatif. Justru banyak sisi negatif dari media baru yang perlu diwaspadai khususnya pada anak. Beberapa ahli menyatakan aspek positif maupun negatif pada media baru bagi anak – anak di antaranya :

- Aspek Positif

a. Seymour Papert (1993), berpendapat bahwa memberikan bentuk baru dalam metode pembelajaran yang melampaui keterbatasan metode satu arah yang dulu seperti televisi dan cetak. Itu adalah yang anak-anak sering lihat maka lebih responsif juga terhadap pendekatan baru: komputer dapat melepaskan kreativitas alami anak-anak hingga ingin belajar, yang mana terhalangi oleh metode lama. Yang lain berpendapat bahwa komputer memberikan kekuatan pada anak-anak untuk berkomunikasi antara satu sama lain, untuk mengekspresikan diri mereka dan berpartisipasi dalam publik yang sebelumnya sangat tidak mungkin.
b. Jon Katz (1996), menganggap internet adalah sarana pembebasan bagi anak-anak; internet menyediakan bagi anak-anak untuk lepas dari pengawasan orang tua, untuk membuat budaya dan komunitas mereka sendiri.
c. Don Tapscott (1997), berpendapat bahwa internet membuat  ‘generasi elektronik’ lebih dmokrasi, imaginatif, bertanggung jawab sosial dan lebih baik dalam mendapatkan informasi daripada generasi sebelumnya.

- Aspek Negatif 
Dalam aspek negatif lebih banyak menyinggung peran internet sebagai hiburan daripada internet sebagai sarana pendidikan.

a. Provenzo (1991), media digital dilihat memiliki pengaruh negatif yang kuat pada kebiasaan anak-anak dan terutama dalam meniru kekerasan. Tragedi seperti penembakan di Colombine High School di Colorado, Amerika Serikat pada tahun 1999 dan yang disalahkan adalah kekerasan pada permaian komputer. Hal  ini karena anak-anak merupakan peniru yang ulung.
b. Griffiths (1996), new media juga dilihat buruk bagi otak dan juga tubuh. Banyak sekali penelitian secara klinis terhadap fenomena seperti “nintendo elbow” dan epilepsi yang diduga disebabkan oleh permainan komputer, berdasarkan penelitian pada “kecanduan” komputer dan efek negatif komputer pada imajinasi anak-anak dan prestasi belajar.
c. Tobin (1998), ketika new media menyebabkan anak-anak menjadi anti sosial, dan menghancurkan interaksi normal manusia dan kehidupan keluarga. Fenomena seperti “Otaku-Soku” atau “suku berdiam di rumah” di jepang dilihat sebagai masalah yang simbolik dari cara kaum muda menjadi lebih tertarik pada virtual komunikasi daripada face-to-face.
d. Schor (2004), pada permainan memiliki pesan moral dan ideologi negatif yang tinggi akan kesetaraan gender, yang menyebabkan sikap stereotip pada anak-anak, dan meningkatkan kekerasan pria terhadap wanita. Selain itu, meningkatnya kegelisahan akan terseidanya akses pornografi di internet, dan membahayakan anak-anak untuk digoda orang pengidap pedofilia. 

Pembahasan yang perlu kita kerucutkan untuk mengkaji relevansi media baru terhadap anak –anak yakni mengenai game. “the culture of games playing involves an ongoing construction of an ‘interpretive community’ ( cf.Radway, 1984). Di sini kita menemukan fakta baru, bahwa game kini sudah menjadi sebuah budaya bagi anak – anak itu sendiri. Hal tersebut akan memunculkan Interpretive Community. Menurut Stanley Fish, Interpretive Community  yaitu kelompok-kelompok yang saling berinteraksi, membentuk realitas dan makna secara bersama-sama, dan menggunakannya dalam proses pembacaan mereka (Littlejohn, 2008 : 197). Dalam konteks ini, objek dari interpretive community adalah sekumpulan anak-anak yang bermain game dan menciptakan sebuah komunitas yang senantiasa menjadikan bahasa games sebagai acuan untuk menerjemahkan dunianya.

Kondisi games yang semakin terintegrasi ini, dimanfaatkan para pemilik modal untuk meraup keuntungan hal tersebut memunculkan realitas baru yang dinamakan ‘Transmedia Intelectuality’ menurut Marsha Kinder (1999) budaya kontemporer anak. Yaitu  kehadiran satu media yang memicu munculnya media lain baik yang sejenis atau berbeda jenis. Banyak game – game populer yang mengambil karakter dari sebuah film atau acara televisi. Misalnya serial kartun pokemon yang ditayangkan di televisi, beberapa saat lalu sempat muncul versi gamesnya ‘Pokemon Go’ yang sempat viral di masyarakat seolah – olah menghipnotis masyarakat untuk memainkan games tersebut. Kemudian, para kapitalis tak hanya mencari keuntungan melalui games. Mereka juga mendistribusikan atribut-atribut lain yang di pasaran yang menarik minat anak-anak karena atribut tersebut diadopsi dari games yang sedang populer pada saat itu. Misalnya Game Mario Bros yang dipopulerkan pada media Nintendo ataupun Playstation. Kini karakter Mario Bros banyak di Pasarkan dalam bentuk boneka atau semacamnya.

Games as text secara selain memberikan hiburan, secara tidak langsung memberikan pengaruh ideology, dan kekuatan yang membentuk karakter pemain. Klein (1984) misalnya, mengatakan permainan “Pac-Man” mencerminkan fantasi lisan dari sadomasochistic. Kestenbaum dan Weinstein (1984) melihat permainan seperti ‘objek transisional’; sedangkan Skirrow(1986) permainan dianggap seperti bentuk dari resolusi fantasi untuk gangguan penampilan laki-laki. Aarseth dan beberapa orang lain mengatakan, konsep pentingdari penelitian dan metodologi dari media baru seperti permainan komputer yang positif bisa menyesatkan. Games memiliki tanda-tanda konotatif juga denotatif. Tanda konotatif ini dapat bermuatan ideologis maupun mitologis. Gagasan tentang 'identifikasi' diambil dari studi film mungkin tidak pantas ketika datang ke karakter yang hanya perangkat untuk memasukkan pemain ke dalam permainan. Tentang pentingnya narasi penutupan, dapat menyebabkan pengabaian kesenangan bermain untuk kepentingan diri sendiri; dan berfokus pada pengalaman waktu di game dapat menyebabkan seseorang untuk signifikansi mengabaikan ruang, dan metafora eksplorasi dan penaklukan sekitar mereka terorganisir. Namun demikian, permainan jelas benar memiliki dimensi representasi serta satu ludis, dan sementara ini mungkin mengambil bentuk yang berbeda, dan menganggap makna yang berbeda, di genre permainan yang berbeda, itu tidak boleh diabaikan. sejauh ini, pendekatan yang berasal teori sastra.

New media sudah memasuki kehidupan anak-anak. New media menjadi salah satu faktor penyebab lunturnya nilai-nilai dan norma kehidupan anak-anak sekarang. Tapi juga sebagai sarana hiburan dan mendidik yang mudah dipahami anak-anak. Kini semua kembali lagi pada orang tua dalam mengasuh dan membimbing anak – anaknya. Anak-anak yang sekarang sudah mengenal teknologi yang semakin canggih harus tetap dalam pengawasan orangtua dalam penggunaan new media. Anak-anak dalam penggunaan teknologi ini masih perlu bimbingan dari orang tua, misalnya pengawasan penggunaan komputer dan bermain games. Sehingga secara tidak langsung orangtua juga dituntut untuk bisa menguasai penggunaan teknologi, yang mayoritas sekarang orang tua banyak yang tidak mau tahu perkembangan teknologi saat ini. Daya kreatif yang seharusnya terus berkembang di masa anak-anak sekarang, tapi terancam hilang dengan kehadiran new media. Oleh karena itu harus tetap dipantau penggunaannya. 

DAFTAR PUSTAKA
Lievrouw, Leah A. & Sonia Livingstone. 2006,  Handbook of New Media : Social Shaping and Social Consquences of ITCs, Sage Publication Ltd. London. 
Littlejohn, W. Stephen. 2008, Theories of Human Communication, 9th ed, Cengage Learning 
Asia Pte Ltd. Singapore.
Anonim. “Data Internet Indonesia, Pengguna Anak Mengejutkan”, teknologi.news.viva.co.id, di akses pada 28 Maret 2017.

















21/03/17

Hantam Lubang di Jalan Raya, Pelajar SMA Negeri 1 Purwokerto Alami Luka Serius

Kecelakaan tunggal terjadi lagi di Jalan Jenderal Sutoyo, Tanjung, Purwokerto Jawa Tengah. Martdwitanti Ajeng, seorang pengendara motor yang juga pelajar kelas 12 di SMA Negeri 1 Purwokerto diduga terpelosok hingga terjungkal ketika melintasi jalan berlubang tepat di depan Pom Bensin Tanjung.

Korban sendiri mengatakan, kecelakaan tersebut terjadi sekitar sore hari pada Kamis (9/3). Korban yang akrab disapa Ajeng ini diketahui memang mengendarai sepeda motor dengan kecepatan lumayan tinggi dalam perjalanan menuju rumah usai pengayaan materi untuk persiapan ujian  di sekolahnya.

Alhasil, motor tersebut terjungkal setelah menghantam lubang yang cukup dalam dan korban terlempar ke permukaan aspal.

"Mau Ujian Sekolah hari rabu depan, jadi lagi intens tambahan. Pulang kesorean akhirnya ngebut dan nggak lihat ada lubang di depan”. Aku korban melalui pesan singkat, Kamis (9/3/2017).

Warga setempat yang menyaksikan kejadian tersebut sontak menyelamatkan korban dan langsung dilarikan ke rumah sakit terdekat. Saat ini korban mengalami patah pada pergelangan tangan kanan, lebam di bagian mata serta luka – luka yang cukup serius di sekujur tubuh. Beruntung ketika kejadian, korban masih sadar dan sempat menghubungi keluarga.












Ketidakberdayaan Teknologi Komunikasi Pada Masyarakat Tertentu

Pada postingan sebelumnya, saya membuat opini yang mengkaji sebuah fenomena sosial di Indonesia sebagai dampak dari munculnya komunitas virtual. Di mana rutinitas online masyarakat menjadi candu yang membius masyarakat untuk menghidupi kehidupan di dunia maya, dunia yang hanya dapat di akses melalui jaringan internet. Mayarakat yang tadinya mengutamakan interaksi secara langsung dengan kelompoknya (komunitas organik) kini beralih menjajal media baru yang menawarkan kemudahan berkomunikasi. Realitas tersebut perlahan menghilangkan kebiasaan lama masyarakat dalam berkomunikasi yang kemudian mengubah pola pikir masyarakat menjadi individualis dan memudarkan kepedulian masyarakat terhadap lingkungan sekitar.

Namun di sisi lain, telah ditemukan beberapa data yang menyatakan bahwa aksesibilitas internet tidak tersebar secara merata di seluruh dunia. Terhambatnya aksesibilitas masyarakat terhadap internet ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya etnisitas, tingkat pendidikan, gender, usia, sosial ekonomi serta ketersediaan aksesibilitas. Pada postingan kali ini saya akan mengkaji aksesibilitas teknologi komunikasi yang tidak relevan pada masyarakat – masyarakat tertentu, apa saja yang menjadi faktor, serta realita - realita yang terjadi di masyarakat.

Banyak studi di Afrika - Amerika yang menunjukan bahwa kaum minoritas (kulit hitam) sangat jauh kecil kemungkinannya untuk memiliki komputer di rumah dan kurangnya akses ke jaringan dibandingkan masyrakat kulit putih dan masyarakat asia sehingga mereka kehilangan kesempatan untuk berpartisipasi dalam aktivitas di internet (Neu et., 1999). studi lain juga menunjukkan jumlah waktu online yang dihabiskan oleh kaum minoritas lebih rendah daripada kelompok mayoritas.

Kasus yang sama terjadi di Indonesia pada pedalaman suku  Baduy. Suku Baduy percaya bahwa mereka merupakan turunan Batara Cikal yang dikenal sebagai salah satu dari tujuh dewa (batara) yang diutus ke bumi dengan misi mulianya bertapa menjaga harmonisasi dunia. Suku tersebut menganggap teknologi modern akan merusak tatanan harmonisasi dunia sehingga masyarakat di suku tersebut hidup secara tradisional tanpa hadirnya teknologi. Meskipun anti teknologi, namun ikatan masyarakat Baduy terhadap penduduk luar sangatlah erat dan tetap bersifat kekeluargaan, tidak ada isolasi yang membuat mereka terasing.  (jadiberita.co, 2011)

Selanjutnya dari faktor pendidikan, gender dan sosial ekonomi. Howard mengatakan
“Those who have access, more of the men, whites, higher income earners, higher educated and more experienced users are likely to be online” (Neu et., 2002). Bahwa mereka yang memiliki akses, kebanyakan adalah laki-laki, kulit putih, mereka yang berpenghasilan lebih tinggi, berpendidikan tinggi dan pengguna yang lebih berpengalaman. Dalam menjalani kehidupan sehari –hari, jenis – jenis tadi cenderung lebih sering menghabiskan waktunya untuk online.

Contoh kasus yang ada di Indonesia, bagi mereka yang berprofesi sebagai petani di Desa Semaya, Purwokerto, kehadiran internet tidak terlalu bermanfaat bagi para petani, karena baginya hanya informasi yang berkaitan dengan pertanian lah yang akan beramanfaat baginya.

Faktor usia juga termasuk salah satu penghambat dalam aksesibilitas teknologi komunikasi. Van Dijk (1999) mengidentifikasi empat kendala dalam menggunakan new media:

1.     Orang, terutama orang tua dan yang tidak terampil terancam oleh teknologi baru atau memiliki buruk pengalaman pertama dengan teknologi.
2.     Sulitnya akses untuk menggunakan computer atau internet.
3.     Pengguna yang kurang ramah dan tidak menariknya penggunaan new media
4.     Nilai new media dianggap kurang penting bagi penggunanya.
Rojas et.al (2004), juga mengidentifikasi kendala yang disebabkan hal-hal di luar kontrol seorang individu seperi; interelasi antara ekonomi kapital, kultur kapital, etnisitas, gender dan usia.

Contoh kasus yang saya amati yaitu dari pengalaman ibu saya sendiri. Ibu saya adalah seorang Pegawai Negeri yang dimana di lingkungan pekerjaannya telah banyak yang menggunakan gadget untuk memudahkan pekerjaan. Ibu saya yang masih merupakan produk keluaran generasi X menentang keras kedatangan teknologi komunikasi modern, yang salah satunya adalah gadget. Teknologi komunikasi untuk menunjang pekerjaan juga telah disarankan oleh pemerintah namun ibu saya tetap bersikeras bertahan pada prinsipnya dan bekerja sesuai dengan prosedur. Meskipun menolak adanya teknologi komunikasi yang lebih canggih, ibu saya tetap bisa bekerja dengan profesional tanpa mengubah apapun.

Yang terakhir adalah faktor ketersediaan akses. Faktor ini berkaitan erat dengan masalah geografis. Daerah – daerah tertentu terkadang masih ada yang belum tersentuh internet. Keterbatasan penyedia layanan dalam memasok jaringan internet ke seluruh penjuru masih belum bisa maksimal. Seperti di daerah – daerah pedalaman atau pinggiran terkadang masih sulit untuk dijangkau jaringan karena lokasi yang masih belum memungkinkan untuk dipasok jaringan internet. Akibatnya masyarakat pada daerah tersebut seakan terisolasi untuk mengetahui daerah luar.

Contoh kasus dalam hal ketersediaan akses ini datang dari Andri Kristian, seorang guru yang berasal dari Surabaya. Sejak tiga tahun yang lalu beliau mengabdi di Distrik Mbua Kabupaten Nduga Sentani Papua. Beliau bercerita pengalamannya mengajar di Papua. Bila sedang berada di Mbua beliau akan sangat sulit dihubungi karena ketiadaan koneksi internet dan telepon. Orang – orang yang ingin menghubungi beliau harus melalui rekannya yang ada di Wamena terlebih dahulu. Di mana jarak dari tempatnya ke Wamena menghabiskan waktu sekitar empat jam dengan akses jalan yang harus menapaki daerah yang terjal dan curam selama dua hari satu malam. Beliau menuturkan bahwa daerah tersebut benar – benar terisolasi karena kondisi geografis di daerah tersebut sehingga tidak ada relawan yang mau mengunjungi disrik Mbua tersebut. Hanya ia seorang diri yang bertekad mengabdi pada daerah tersebut. (Kompasiana, 2016).

Itulah tadi beberapa kasus yang menjadikan teknologi komunikasi seakan - akan 'tak berdaya' pada masyarakat - masyarakat tertentu. Di tengah - tengah perkembangan teknologi komunikasi yang semakin menyita perhatian masyarakat sehingga melupakan tradisi berkomunikasi leluhur, ternyata masih banyak masyarakat - masyarakat yang masih belum siap untuk menerima perkembangan teknologi komunikasi yang sangat beragam. Hal itu sangat nyata kontras dengan kehidupan sebagian masyarakat yang kebutuhan akses informasinya telah terpenuhi, sehingga menjadikan ketimpangan penerimaan informasi pada masyarakat. Kesimpulan yang dapat kita ambil dari opini diatas yaitu aksesibilitas teknologi komunikasi selain memiliki aspek optimis juga memiliki aspek pesimis. Kita sebagai generasi yang telah ‘melek media’ harus berkaca pada mereka yang tidak mendapatkan kesempatan seperti yang kita dapat. Hendaklah kita semua bijak dalam bermedia agar tercipta harmonisasi dalam kehidupan.

Daftar Pustaka :

Lievrouw, Leah A. & Sonia Livingstone. 2006,  Handbook of New Media : Social Shaping and Social Consquences of ITCs, Sage Publication Ltd. London. 

Renpouinn, Kanno. 2011, "Suku Baduy : Eksis Meski Tanpa Teknologi", www.jadiberita.co, diakses pada 21 Maret 2017

Damanik, Rahayu Setiawati. 2016, "Andri Kristian seorang Guru di Pedalaman Papua (Tanpa Listrik, Sinyal Telepon, & Koneksi Internet)”, www.kompasiana.com, di akses pada 21 Maret 2017














14/03/17

Perkembangan Teknologi dan Datangnya 'Generasi Merunduk'

Teknologi komunikasi kini telah berkembang pesat. Berbagai inovasi telah diadopsi masyarakat sejak berabad - abad lalu seperti yang dirangkum Rogers pada tahun 1986 bahwa perkembangan media komunikasi terbagi menjadi empat era, yaitu era komunikasi tulisan (4000 SM), era komunikasi cetak (1456), era telekomunikasi (1844), dan era komunikasi interaktif (1946). Sampai saat ini, di Indonesia teknologi komunikasi masih terus berkembang mengikuti perkembangan zaman dan juga kebutuhan masyarakat. 

Internet merupakan salah satu teknologi komunikasi yang paling populer dan berpengaruh bagi kehidupan masyarakat saat ini. Teknologi yang berbasis jaringan komputer ini seiring berjalannya waktu dapat dengan mudah diakses oleh semua kalangan mulai dari anak - anak hingga orang dewasa sesuai dengan kebutuhan mereka masing - masing.  Ada yang menggunakan internet untuk menunjang karir, pendidikan, berkomunikasi dan juga sebagai hiburan. Kini kehidupan sebagian besar masyarakat seolah bergantung pada sambungan internet. Mengapa? 

Hadirnya internet di tengah - tengah masyarakat ini memicu munculnya media - media baru yang menciptakan realitas virtual bagi penggunanya atau biasa kita sebut Dunia Maya. Pada awalnya, media baru yang berbasis jaringan internet (online) ini memang diciptakan untuk mempermudah komunikasi yang terbatas ruang dan waktu. Namun pada kenyataannya dunia maya membawa kenyamanan bagi para penggunanya dalam berinteraksi dan seolah dunia yang maya itu kian nyata. Di dunia maya, seseorang bisa memiliki lebih dari satu identitas. Mereka bisa menjadi siapa saja serta bebas berbicara apa saja dan dengan siapa saja.  Dari sini terbentuklah suatu komunitas yang  saling terhubung melalui ruang cyber yaitu komunitas virtual.

Van Dijk dalam buku "Communication Technology : New Media of Society" menjelaskan perbedaan antara Komunitas Virtual dan Komunitas Organik. Komunitas virtual merupakan sebuah kelompok yang menggunakan teknologi sebagai alat untuk berkomunikasi dan tentunya komunikasi yang dilakukan secara tidak langsung melainkan melalui sebuah ruang cyber yang semu dan anonim. Sedangkan komunitas organik mengandalkan komunikasi tatap muka atau face to face dengan kelompoknya menggunakan identitas asli mereka. Organik disini adalah suatu proses berkomunikasi yang sifatnya nyata dan apa adanya. Komunitas organik lahir lebih dulu dibandingkan komunitas virtual. Sebelum adanya teknologi  yang menciptakan dunia maya sebagai wadah berkomunikasi antara satu pihak dengan pihak lainnya, komunitas organik telah berkembang sendirinya dari awal manusia ada dan berkomunikasi. 

Kolaborasi teknologi komunikasi dan jaringan internet akan membuat suatu komunitas beralih ke media sosial yang bersifat online. Komunitas yang telah terbentuk di dunia virtual mampu menyeret individu ke dalam kehidupan anti sosial di dunia nyata. Mereka tenggelam dalam kehidupan di dunia maya. Misalnya komunitas Pecinta Musik Keroncong se - DKI Jakarta yang tergabung dalam group WhatsApp Messanger untuk memudahkan komunikasi mereka.

Mungkin identitas sebagian anggota komunitas virtual sebenarnya adalah mereka yang pada dunia nyata bukanlah apa - apa. Mereka tak cukup berarti di lingkungannya sehingga melampiaskannya dengan berkespresi di dunia maya sebagai identitas baru. Misalnya anggota pecinta musik keroncong yang tergabung dalam group WhatsApp tadi bukan tidak mungkin adalah orang - orang yang tidak disukai lingkungan sekitarnya di dunia nyata. Namun ia menemukan suatu kelompok yang se - frequensi di media sosial dan hidup mereka seakan lebih berarti di dunia maya sehingga setiap saat mereka tak henti - hentinya mengecek media sosial mereka.


Orang Kota yang Menghabiskan Kejenuhan dengan Bermain Gadget

Hal tersebut membentuk suatu fenomena sosial di masyarakat yang disebut 'generasi merunduk'. Sebuah kejadian yang mana ia tidak melakukan interaksi apapun dengan lingkungan di mana dirinya berada namun sesungguhnya ia melakukan interaksi dengan orang - orang di dunia mayanya dengan bantuan teknologi komunikasi. Dimanapun, kapanpun dan apapun yang mereka kerjakan mereka akan selalu memeriksa situasi di media sosial, mereka akan terus merunduk melihat ke layar gadget, laptop atau alat komunikasi apapun untuk mendapatkan informasi teraktual di media sosial.

Beberapa waktu lalu saya menangkap sebuah kejadian di salah satu gerbong Commuter Line tujuan Bekasi - Jakarta Kota. Di mulai ketika saya hendak memasuki gerbong tersebut, saya memilih duduk di posisi ujung gerbong tepat di dekat pintu pembatas ke gerbong lain. Di mana posisi tersebut memudahkan saya untuk melihat seisi gerbong. Hari itu kebetulan gerbong tidak begitu ramai sehingga semua orang di dalam gerbong mendapat jatah tempat duduknya masing - masing, mungkin hanya beberapa yang berdiri. Di situ saya memandangi orang - orang di sekeliling saya. Saya sempat terkejut ketika saya menjumpai kejadian di mana seluruh isi gerbong memandangi gadget mereka masing - masing. Ada yang memainkan game, mendengarkan musik, menonton youtube, ada pula yang hanya menggeser - geser layar gadget, bahkan tak jarang juga orang yang terlihat tersenyum - senyum sendiri memandangi layar handphone-nya. Saya menyadari saat itu juga bahwa 'generasi merunduk' semakin nyata adanya.

Kabar baik dari adanya fenomena 'generasi merunduk' di Indonesia ini mungkin menjadi tolak ukur melek media di masyarakat. Setidaknya masyarakat telah mengenal ataupun mengikuti perkembangan teknologi yang semakin melimpah. Di sisi lain, hal ini juga menimbulkan kecemasan bagi kehidupan sosial di masyarakat yang menurunkan kepedulian terhadap lingkungan sekitar dan semakin enggan berinteraksi ataupun berkomunikasi langsung dengan sesama. Tak heran jika kini kolektifitas semakin langka dan negara ini tak ada bedanya dengan negara - negara barat yang individualis.

Jika kita bandingkan dengan pola komunikasi pada era komunitas organik, sangat nyata perbedaannya. Interaksi yang dilakukan dirasakan dan berdampak langsung oleh pelaku komunikasi. Misalnya pada komunitas sepeda ontel. Kegiatan rutin yang diadakan komunitas tersebut akan menyatukan para anggotanya dan menciptakan hubungan serta komunikasi yang langgeng antar anggota. Antar anggota akan saling mengenal satu sama lain dan hubungan yang terjalin akan lebih baik karena hubungan tersebut nyata. Dan menurut saya, kebanyakan komunitas yang bertahan dengan komunitas organiknya, sesungguhnya adalah orang - orang yang memiliki good communication. 


Komunitas Para Pedagang yang Tengah Berbincang 




Komunitas Sopir Angkot yang Bermain Catur di Terminal Angkutan Umum


Kesimpulannya, kehadiran teknologi yang begitu banyak di tengah - tengah kehidupan kita bukan berarti membuat kita meninggalkan hal - hal kodrati yang kita miliki. Manusia tercipta untuk saling berinteraksi, media baru hadir untuk memudahkan  dan mendukung manusia untuk saling bersosialisasi. Jadilah masyarakat yang melek media namun tak menutup diri untuk lingkungan.

Daftar Pustaka :


Lievrouw, Leah A. & Sonia Livingstone. 2006,  Handbook of New Media : Social Shaping and Social Consquences of ITCs, Sage Publication Ltd. London. Chapter  2  :  “Creating Community  with Media : History, Theories and Scientific Investigation






15/09/16

Sebuah Cerita Pendek : "Mencari Tau"


Kegelapan yang tenang ini kunikmati. Menyatukan badan dengan kasur kapuk favoritku yang telah lama tak kusinggahi. Lelap ini begitu nyaman, sudah lama aku tidak merasakan lelap yang seperti ini semenjak aku menuntut ilmu di sebuah perguruan tinggi di Kota Bandung.

Sayup – sayup terdengar suara kenthongan penanda waktu sahur. Sebuah tradisi di kampungku yang mungkin tak akan pernah lekang oleh modernisasi. Tak lama kilauan cahaya menyergap mukaku, ibu menyalakan lampu kamarku seraya menyuarakan suara khasnya ketika membangunkanku sahur, “Mas Rio, ayo sahur dulu nanti tidur lagi”. Mataku masih melawan terjangan cahaya lampu sambil perlahan bangkit dari tidurku.
         
Di meja makan telah tersedia hidangan sahur yang menggugah selera. Ibuku yang jago memasak memang selalu menyajikan hidangan sahur terbaik untuk keluarga kecilnya.


“Mana ayah?” Tanyaku sambil menyiduk nasi ke piring.


“Biasa, sedang kepayahan membangunkan adikmu” sahut ibu.

Tak lama ayah menghampiri meja makan sambil menggendong manja adik perempuanku yang masih setengah tertidur. Didudukannya ia oleh ayah di bangku sebelahku namun adikku tetap saja tertidur. Aku tersenyum geli. Adikku yang masih selustrum itu memang sudah mulai diajarkan berpuasa oleh ayah dan ibu. Sama sepertiku dulu. Ayah dan ibu selalu menanamkan nilai – nilai agama sejak dini kepada putra – putrinya.


“Hei, Mas, siapa yang membangunkanmu saat sahur di Bandung sana?” Ibu memulai percakapan sambil menyuapi adik perempuanku.


“Bangun sendiri bu, kadang dibangunkan teman” Jawabku

“Terus makan sahurnya bagaimana?” lanjut ayah.

“Biasanya beli di warung depan kost atau malamnya sehabis tarawih Rio beli lauk untuk sahur”


Suasana sahur di rumah memang suasana yang paling hangat. Apalagi aku baru pernah mengalami berjauhan dengan keluarga. Di tahun pertama kuliahku ini rasanya waktu berkumpul bersama keluarga adalah waktu yang sangat berharga. Aku sadar bahwa ayah dan ibu pasti mengandalkan anak laki – laki sulungnya untuk menjadi apa yang mereka doakan setiap waktu.


Aku memperhatikan adik kecilku, Ratih yang sedang berusaha mengunyah makanannya sambil melawan rasa kantuk. Tetiba terlintas dipikiranku akan pertanyaan – pertanyaan mendalam. Mengapa umat islam harus berpuasa? Mengapa ayah dan ibu harus bersusah payah membangunkan putra – putrinya di pagi buta ketika bulan ramadhan dan melaksanakan sahur? Mengapa sejak kecil aku dan adikku dilatih untuk menahan nafsu? Mengapa ibu rela memasak untuk sahur tanpa menghiraukan rasa kantuknya? Mengapa ayah selalu mengajak shalat berjamaah setiap waktu? Dan mengapa pula orang – orang selalu mengajarkan kebaikan?


Lantas bagaimana kehidupan orang – orang diluar sana yang sejak lahir tidak diperkenalkan agama oleh keluarganya? Apakah mereka akan terus mencari siapa Tuhannya ataukah ia hanya akan mengikuti alur kehidupannya saja? Dan bagaimana dengan orang – orang yang diperkenalkan agama orang tuanya sejak kecil dan mereka hanya menerimanya, menjalankan perintah agamanya tanpa mencari tahu apa sejatinya Tuhannya itu?


Aku yang sebenarnya adalah orang yang sedang melakukan pencarian. Pencarian tentang kehidupan. Mengapa Tuhan berbeda - beda sedangkan manusia adalah manusia yang sama? Aku selalu mengagumi orang – orang yang mau mencari tahu asal muasal kehidupannya. Bagiku, hidup bukan berasal dari spekulasi, perlu ada keyakinan terhadap pilihan dan konsekuensi yang diambil. Orang – orang yang mencari tahu akan bertanya – tanya dan pada waktunya mereka akan menemukan. Mereka adalah orang yang memilih karena memahami, menyadari, meyakini kemudian mengakui. Tentu saja nanti dalam penerapan kehidupannya keimanan mereka akan lebih kokoh jika dibandingkan orang – orang yang hanya bisa menerima saja doktrin dari orang – orang yang dianggap benar tanpa ada sedikitpun dalam dirinya 'menyadari'. Karena orang – orang yang mencari tahu paham dengan apa yang menjadi pilihannya.


Pelan - pelan aku mulai menyadari bahwa tuntunan agama akan tetap benar, hawa nafsulah yang merusak segalanya. Orang - orang menjadikan agamanya sebagai benteng dari kesalahannya karena tidak memulai agamanya dengan 'mencari tahu'. Aku yang terlahir sebagai pengikut agama orang tuaku akan terus mencari hingga menemukan jati diri agamaku. Aku tidak ingin menjadi seperti orang – orang memprihatinkan diluar sana yang hanya menjalankan segala tuntutan agama tanpa mengimaninya. Aku tidak ingin setengah – setengah menjalani kehidupan.


.