Seperti yang kita ketahui, teknologi komunikasi sampai saat ini telah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Inovasi seolah tiada henti menciptakan berbagai media baru yang dapat dengan mudah di akses oleh semua kalangan masyarakat. Mulai dari anak – anak hingga orang dewasa. Biasanya orang – orang menggunakan media baru untuk mempermudah kehidupnya seperti bekerja, berkomunikasi, mencari informasi, juga tak sedikit orang yang menggunakan media baru sebagai sarana hiburan. Pada Anak – anak, media baru mengisi waktu luang mereka di rumah ataupun di kelompok bermain sebagai sarana hiburan dan edukasi.
Hasil survei yang dilakukan Asosiasi Penyelenggara Internet Indonesia (APJII) terkait pengguna internet pada 2016 cukup mengejutkan karena hasil survei pada rentang usia anak sekitar 10-15 tahun mencapai 768 ribu pengguna. Hasil ini mengalami pertumbuhan 51,8 persen dari survei APJII 2014. Dalam konteks kajian, hal ini perlu kita bahas karena dapat kita simpulkan bahwa sebagian besar anak – anak di Indonesia telah mampu mengakses media baru sebagai sarana bermain mereka. Menurut data survei APJII pula, konten – konten yang sering di akses anak pada rentang usia 10-15 tahun ada berbagai macam seperti media sosial, menonton video di Youtube, dan bermain game online.
Walaupun media baru membawa dampak positif bagi penggunanya, namun bukan berarti media tidak memiliki sisi negatif. Justru banyak sisi negatif dari media baru yang perlu diwaspadai khususnya pada anak. Beberapa ahli menyatakan aspek positif maupun negatif pada media baru bagi anak – anak di antaranya :
- Aspek Positif
a. Seymour Papert (1993), berpendapat bahwa memberikan bentuk baru dalam metode pembelajaran yang melampaui keterbatasan metode satu arah yang dulu seperti televisi dan cetak. Itu adalah yang anak-anak sering lihat maka lebih responsif juga terhadap pendekatan baru: komputer dapat melepaskan kreativitas alami anak-anak hingga ingin belajar, yang mana terhalangi oleh metode lama. Yang lain berpendapat bahwa komputer memberikan kekuatan pada anak-anak untuk berkomunikasi antara satu sama lain, untuk mengekspresikan diri mereka dan berpartisipasi dalam publik yang sebelumnya sangat tidak mungkin.
b. Jon Katz (1996), menganggap internet adalah sarana pembebasan bagi anak-anak; internet menyediakan bagi anak-anak untuk lepas dari pengawasan orang tua, untuk membuat budaya dan komunitas mereka sendiri.
c. Don Tapscott (1997), berpendapat bahwa internet membuat ‘generasi elektronik’ lebih dmokrasi, imaginatif, bertanggung jawab sosial dan lebih baik dalam mendapatkan informasi daripada generasi sebelumnya.
- Aspek Negatif
Dalam aspek negatif lebih banyak menyinggung peran internet sebagai hiburan daripada internet sebagai sarana pendidikan.
a. Provenzo (1991), media digital dilihat memiliki pengaruh negatif yang kuat pada kebiasaan anak-anak dan terutama dalam meniru kekerasan. Tragedi seperti penembakan di Colombine High School di Colorado, Amerika Serikat pada tahun 1999 dan yang disalahkan adalah kekerasan pada permaian komputer. Hal ini karena anak-anak merupakan peniru yang ulung.
b. Griffiths (1996), new media juga dilihat buruk bagi otak dan juga tubuh. Banyak sekali penelitian secara klinis terhadap fenomena seperti “nintendo elbow” dan epilepsi yang diduga disebabkan oleh permainan komputer, berdasarkan penelitian pada “kecanduan” komputer dan efek negatif komputer pada imajinasi anak-anak dan prestasi belajar.
c. Tobin (1998), ketika new media menyebabkan anak-anak menjadi anti sosial, dan menghancurkan interaksi normal manusia dan kehidupan keluarga. Fenomena seperti “Otaku-Soku” atau “suku berdiam di rumah” di jepang dilihat sebagai masalah yang simbolik dari cara kaum muda menjadi lebih tertarik pada virtual komunikasi daripada face-to-face.
d. Schor (2004), pada permainan memiliki pesan moral dan ideologi negatif yang tinggi akan kesetaraan gender, yang menyebabkan sikap stereotip pada anak-anak, dan meningkatkan kekerasan pria terhadap wanita. Selain itu, meningkatnya kegelisahan akan terseidanya akses pornografi di internet, dan membahayakan anak-anak untuk digoda orang pengidap pedofilia.
Pembahasan yang perlu kita kerucutkan untuk mengkaji relevansi media baru terhadap anak –anak yakni mengenai game. “the culture of games playing involves an ongoing construction of an ‘interpretive community’ ( cf.Radway, 1984). Di sini kita menemukan fakta baru, bahwa game kini sudah menjadi sebuah budaya bagi anak – anak itu sendiri. Hal tersebut akan memunculkan Interpretive Community. Menurut Stanley Fish, Interpretive Community yaitu kelompok-kelompok yang saling berinteraksi, membentuk realitas dan makna secara bersama-sama, dan menggunakannya dalam proses pembacaan mereka (Littlejohn, 2008 : 197). Dalam konteks ini, objek dari interpretive community adalah sekumpulan anak-anak yang bermain game dan menciptakan sebuah komunitas yang senantiasa menjadikan bahasa games sebagai acuan untuk menerjemahkan dunianya.
Kondisi games yang semakin terintegrasi ini, dimanfaatkan para pemilik modal untuk meraup keuntungan hal tersebut memunculkan realitas baru yang dinamakan ‘Transmedia Intelectuality’ menurut Marsha Kinder (1999) budaya kontemporer anak. Yaitu kehadiran satu media yang memicu munculnya media lain baik yang sejenis atau berbeda jenis. Banyak game – game populer yang mengambil karakter dari sebuah film atau acara televisi. Misalnya serial kartun pokemon yang ditayangkan di televisi, beberapa saat lalu sempat muncul versi gamesnya ‘Pokemon Go’ yang sempat viral di masyarakat seolah – olah menghipnotis masyarakat untuk memainkan games tersebut. Kemudian, para kapitalis tak hanya mencari keuntungan melalui games. Mereka juga mendistribusikan atribut-atribut lain yang di pasaran yang menarik minat anak-anak karena atribut tersebut diadopsi dari games yang sedang populer pada saat itu. Misalnya Game Mario Bros yang dipopulerkan pada media Nintendo ataupun Playstation. Kini karakter Mario Bros banyak di Pasarkan dalam bentuk boneka atau semacamnya.
Games as text secara selain memberikan hiburan, secara tidak langsung memberikan pengaruh ideology, dan kekuatan yang membentuk karakter pemain. Klein (1984) misalnya, mengatakan permainan “Pac-Man” mencerminkan fantasi lisan dari sadomasochistic. Kestenbaum dan Weinstein (1984) melihat permainan seperti ‘objek transisional’; sedangkan Skirrow(1986) permainan dianggap seperti bentuk dari resolusi fantasi untuk gangguan penampilan laki-laki. Aarseth dan beberapa orang lain mengatakan, konsep pentingdari penelitian dan metodologi dari media baru seperti permainan komputer yang positif bisa menyesatkan. Games memiliki tanda-tanda konotatif juga denotatif. Tanda konotatif ini dapat bermuatan ideologis maupun mitologis. Gagasan tentang 'identifikasi' diambil dari studi film mungkin tidak pantas ketika datang ke karakter yang hanya perangkat untuk memasukkan pemain ke dalam permainan. Tentang pentingnya narasi penutupan, dapat menyebabkan pengabaian kesenangan bermain untuk kepentingan diri sendiri; dan berfokus pada pengalaman waktu di game dapat menyebabkan seseorang untuk signifikansi mengabaikan ruang, dan metafora eksplorasi dan penaklukan sekitar mereka terorganisir. Namun demikian, permainan jelas benar memiliki dimensi representasi serta satu ludis, dan sementara ini mungkin mengambil bentuk yang berbeda, dan menganggap makna yang berbeda, di genre permainan yang berbeda, itu tidak boleh diabaikan. sejauh ini, pendekatan yang berasal teori sastra.
New media sudah memasuki kehidupan anak-anak. New media menjadi salah satu faktor penyebab lunturnya nilai-nilai dan norma kehidupan anak-anak sekarang. Tapi juga sebagai sarana hiburan dan mendidik yang mudah dipahami anak-anak. Kini semua kembali lagi pada orang tua dalam mengasuh dan membimbing anak – anaknya. Anak-anak yang sekarang sudah mengenal teknologi yang semakin canggih harus tetap dalam pengawasan orangtua dalam penggunaan new media. Anak-anak dalam penggunaan teknologi ini masih perlu bimbingan dari orang tua, misalnya pengawasan penggunaan komputer dan bermain games. Sehingga secara tidak langsung orangtua juga dituntut untuk bisa menguasai penggunaan teknologi, yang mayoritas sekarang orang tua banyak yang tidak mau tahu perkembangan teknologi saat ini. Daya kreatif yang seharusnya terus berkembang di masa anak-anak sekarang, tapi terancam hilang dengan kehadiran new media. Oleh karena itu harus tetap dipantau penggunaannya.
DAFTAR PUSTAKA
Lievrouw, Leah A. & Sonia Livingstone. 2006, Handbook of New Media : Social Shaping and Social Consquences of ITCs, Sage Publication Ltd. London.
Littlejohn, W. Stephen. 2008, Theories of Human Communication, 9th ed, Cengage Learning
Asia Pte Ltd. Singapore.
Anonim. “Data Internet Indonesia, Pengguna Anak Mengejutkan”, teknologi.news.viva.co.id, di akses pada 28 Maret 2017.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar