Pada postingan sebelumnya, saya membuat opini yang mengkaji sebuah fenomena sosial di Indonesia sebagai dampak dari munculnya komunitas virtual. Di mana rutinitas online masyarakat menjadi candu yang membius masyarakat untuk menghidupi kehidupan di dunia maya, dunia yang hanya dapat di akses melalui jaringan internet. Mayarakat yang tadinya mengutamakan interaksi secara langsung dengan kelompoknya (komunitas organik) kini beralih menjajal media baru yang menawarkan kemudahan berkomunikasi. Realitas tersebut perlahan menghilangkan kebiasaan lama masyarakat dalam berkomunikasi yang kemudian mengubah pola pikir masyarakat menjadi individualis dan memudarkan kepedulian masyarakat terhadap lingkungan sekitar.
Namun di sisi lain, telah ditemukan beberapa data yang menyatakan bahwa aksesibilitas internet tidak tersebar secara merata di seluruh dunia. Terhambatnya aksesibilitas masyarakat terhadap internet ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya etnisitas, tingkat pendidikan, gender, usia, sosial ekonomi serta ketersediaan aksesibilitas. Pada postingan kali ini saya akan mengkaji aksesibilitas teknologi komunikasi yang tidak relevan pada masyarakat – masyarakat tertentu, apa saja yang menjadi faktor, serta realita - realita yang terjadi di masyarakat.
Banyak studi di Afrika - Amerika yang menunjukan bahwa kaum minoritas (kulit hitam) sangat jauh kecil kemungkinannya untuk memiliki komputer di rumah dan kurangnya akses ke jaringan dibandingkan masyrakat kulit putih dan masyarakat asia sehingga mereka kehilangan kesempatan untuk berpartisipasi dalam aktivitas di internet (Neu et., 1999). studi lain juga menunjukkan jumlah waktu online yang dihabiskan oleh kaum minoritas lebih rendah daripada kelompok mayoritas.
Kasus yang sama terjadi di Indonesia pada pedalaman suku Baduy. Suku Baduy percaya bahwa mereka merupakan turunan Batara Cikal yang dikenal sebagai salah satu dari tujuh dewa (batara) yang diutus ke bumi dengan misi mulianya bertapa menjaga harmonisasi dunia. Suku tersebut menganggap teknologi modern akan merusak tatanan harmonisasi dunia sehingga masyarakat di suku tersebut hidup secara tradisional tanpa hadirnya teknologi. Meskipun anti teknologi, namun ikatan masyarakat Baduy terhadap penduduk luar sangatlah erat dan tetap bersifat kekeluargaan, tidak ada isolasi yang membuat mereka terasing. (jadiberita.co, 2011)
Selanjutnya dari faktor pendidikan, gender dan sosial ekonomi. Howard mengatakan
“Those who have access, more of the men, whites, higher income earners, higher educated and more experienced users are likely to be online” (Neu et., 2002). Bahwa mereka yang memiliki akses, kebanyakan adalah laki-laki, kulit putih, mereka yang berpenghasilan lebih tinggi, berpendidikan tinggi dan pengguna yang lebih berpengalaman. Dalam menjalani kehidupan sehari –hari, jenis – jenis tadi cenderung lebih sering menghabiskan waktunya untuk online.
Contoh kasus yang ada di Indonesia, bagi mereka yang berprofesi sebagai petani di Desa Semaya, Purwokerto, kehadiran internet tidak terlalu bermanfaat bagi para petani, karena baginya hanya informasi yang berkaitan dengan pertanian lah yang akan beramanfaat baginya.
Faktor usia juga termasuk salah satu penghambat dalam aksesibilitas teknologi komunikasi. Van Dijk (1999) mengidentifikasi empat kendala dalam menggunakan new media:
1. Orang, terutama orang tua dan yang tidak terampil terancam oleh teknologi baru atau memiliki buruk pengalaman pertama dengan teknologi.
2. Sulitnya akses untuk menggunakan computer atau internet.
3. Pengguna yang kurang ramah dan tidak menariknya penggunaan new media
4. Nilai new media dianggap kurang penting bagi penggunanya.
Rojas et.al (2004), juga mengidentifikasi kendala yang disebabkan hal-hal di luar kontrol seorang individu seperi; interelasi antara ekonomi kapital, kultur kapital, etnisitas, gender dan usia.
Contoh kasus yang saya amati yaitu dari pengalaman ibu saya sendiri. Ibu saya adalah seorang Pegawai Negeri yang dimana di lingkungan pekerjaannya telah banyak yang menggunakan gadget untuk memudahkan pekerjaan. Ibu saya yang masih merupakan produk keluaran generasi X menentang keras kedatangan teknologi komunikasi modern, yang salah satunya adalah gadget. Teknologi komunikasi untuk menunjang pekerjaan juga telah disarankan oleh pemerintah namun ibu saya tetap bersikeras bertahan pada prinsipnya dan bekerja sesuai dengan prosedur. Meskipun menolak adanya teknologi komunikasi yang lebih canggih, ibu saya tetap bisa bekerja dengan profesional tanpa mengubah apapun.
Yang terakhir adalah faktor ketersediaan akses. Faktor ini berkaitan erat dengan masalah geografis. Daerah – daerah tertentu terkadang masih ada yang belum tersentuh internet. Keterbatasan penyedia layanan dalam memasok jaringan internet ke seluruh penjuru masih belum bisa maksimal. Seperti di daerah – daerah pedalaman atau pinggiran terkadang masih sulit untuk dijangkau jaringan karena lokasi yang masih belum memungkinkan untuk dipasok jaringan internet. Akibatnya masyarakat pada daerah tersebut seakan terisolasi untuk mengetahui daerah luar.
Contoh kasus dalam hal ketersediaan akses ini datang dari Andri Kristian, seorang guru yang berasal dari Surabaya. Sejak tiga tahun yang lalu beliau mengabdi di Distrik Mbua Kabupaten Nduga Sentani Papua. Beliau bercerita pengalamannya mengajar di Papua. Bila sedang berada di Mbua beliau akan sangat sulit dihubungi karena ketiadaan koneksi internet dan telepon. Orang – orang yang ingin menghubungi beliau harus melalui rekannya yang ada di Wamena terlebih dahulu. Di mana jarak dari tempatnya ke Wamena menghabiskan waktu sekitar empat jam dengan akses jalan yang harus menapaki daerah yang terjal dan curam selama dua hari satu malam. Beliau menuturkan bahwa daerah tersebut benar – benar terisolasi karena kondisi geografis di daerah tersebut sehingga tidak ada relawan yang mau mengunjungi disrik Mbua tersebut. Hanya ia seorang diri yang bertekad mengabdi pada daerah tersebut. (Kompasiana, 2016).
Itulah tadi beberapa kasus yang menjadikan teknologi komunikasi seakan - akan 'tak berdaya' pada masyarakat - masyarakat tertentu. Di tengah - tengah perkembangan teknologi komunikasi yang semakin menyita perhatian masyarakat sehingga melupakan tradisi berkomunikasi leluhur, ternyata masih banyak masyarakat - masyarakat yang masih belum siap untuk menerima perkembangan teknologi komunikasi yang sangat beragam. Hal itu sangat nyata kontras dengan kehidupan sebagian masyarakat yang kebutuhan akses informasinya telah terpenuhi, sehingga menjadikan ketimpangan penerimaan informasi pada masyarakat. Kesimpulan yang dapat kita ambil dari opini diatas yaitu aksesibilitas teknologi komunikasi selain memiliki aspek optimis juga memiliki aspek pesimis. Kita sebagai generasi yang telah ‘melek media’ harus berkaca pada mereka yang tidak mendapatkan kesempatan seperti yang kita dapat. Hendaklah kita semua bijak dalam bermedia agar tercipta harmonisasi dalam kehidupan.
Daftar Pustaka :
Lievrouw, Leah A. & Sonia Livingstone. 2006, Handbook of New Media : Social Shaping and Social Consquences of ITCs, Sage Publication Ltd. London.
Renpouinn, Kanno. 2011, "Suku Baduy : Eksis Meski Tanpa Teknologi", www.jadiberita.co, diakses pada 21 Maret 2017
Damanik, Rahayu Setiawati. 2016, "Andri Kristian seorang Guru di Pedalaman Papua (Tanpa Listrik, Sinyal Telepon, & Koneksi Internet)”, www.kompasiana.com, di akses pada 21 Maret 2017
Namun di sisi lain, telah ditemukan beberapa data yang menyatakan bahwa aksesibilitas internet tidak tersebar secara merata di seluruh dunia. Terhambatnya aksesibilitas masyarakat terhadap internet ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya etnisitas, tingkat pendidikan, gender, usia, sosial ekonomi serta ketersediaan aksesibilitas. Pada postingan kali ini saya akan mengkaji aksesibilitas teknologi komunikasi yang tidak relevan pada masyarakat – masyarakat tertentu, apa saja yang menjadi faktor, serta realita - realita yang terjadi di masyarakat.
Banyak studi di Afrika - Amerika yang menunjukan bahwa kaum minoritas (kulit hitam) sangat jauh kecil kemungkinannya untuk memiliki komputer di rumah dan kurangnya akses ke jaringan dibandingkan masyrakat kulit putih dan masyarakat asia sehingga mereka kehilangan kesempatan untuk berpartisipasi dalam aktivitas di internet (Neu et., 1999). studi lain juga menunjukkan jumlah waktu online yang dihabiskan oleh kaum minoritas lebih rendah daripada kelompok mayoritas.
Kasus yang sama terjadi di Indonesia pada pedalaman suku Baduy. Suku Baduy percaya bahwa mereka merupakan turunan Batara Cikal yang dikenal sebagai salah satu dari tujuh dewa (batara) yang diutus ke bumi dengan misi mulianya bertapa menjaga harmonisasi dunia. Suku tersebut menganggap teknologi modern akan merusak tatanan harmonisasi dunia sehingga masyarakat di suku tersebut hidup secara tradisional tanpa hadirnya teknologi. Meskipun anti teknologi, namun ikatan masyarakat Baduy terhadap penduduk luar sangatlah erat dan tetap bersifat kekeluargaan, tidak ada isolasi yang membuat mereka terasing. (jadiberita.co, 2011)
Selanjutnya dari faktor pendidikan, gender dan sosial ekonomi. Howard mengatakan
“Those who have access, more of the men, whites, higher income earners, higher educated and more experienced users are likely to be online” (Neu et., 2002). Bahwa mereka yang memiliki akses, kebanyakan adalah laki-laki, kulit putih, mereka yang berpenghasilan lebih tinggi, berpendidikan tinggi dan pengguna yang lebih berpengalaman. Dalam menjalani kehidupan sehari –hari, jenis – jenis tadi cenderung lebih sering menghabiskan waktunya untuk online.
Contoh kasus yang ada di Indonesia, bagi mereka yang berprofesi sebagai petani di Desa Semaya, Purwokerto, kehadiran internet tidak terlalu bermanfaat bagi para petani, karena baginya hanya informasi yang berkaitan dengan pertanian lah yang akan beramanfaat baginya.
Faktor usia juga termasuk salah satu penghambat dalam aksesibilitas teknologi komunikasi. Van Dijk (1999) mengidentifikasi empat kendala dalam menggunakan new media:
1. Orang, terutama orang tua dan yang tidak terampil terancam oleh teknologi baru atau memiliki buruk pengalaman pertama dengan teknologi.
2. Sulitnya akses untuk menggunakan computer atau internet.
3. Pengguna yang kurang ramah dan tidak menariknya penggunaan new media
4. Nilai new media dianggap kurang penting bagi penggunanya.
Rojas et.al (2004), juga mengidentifikasi kendala yang disebabkan hal-hal di luar kontrol seorang individu seperi; interelasi antara ekonomi kapital, kultur kapital, etnisitas, gender dan usia.
Contoh kasus yang saya amati yaitu dari pengalaman ibu saya sendiri. Ibu saya adalah seorang Pegawai Negeri yang dimana di lingkungan pekerjaannya telah banyak yang menggunakan gadget untuk memudahkan pekerjaan. Ibu saya yang masih merupakan produk keluaran generasi X menentang keras kedatangan teknologi komunikasi modern, yang salah satunya adalah gadget. Teknologi komunikasi untuk menunjang pekerjaan juga telah disarankan oleh pemerintah namun ibu saya tetap bersikeras bertahan pada prinsipnya dan bekerja sesuai dengan prosedur. Meskipun menolak adanya teknologi komunikasi yang lebih canggih, ibu saya tetap bisa bekerja dengan profesional tanpa mengubah apapun.
Yang terakhir adalah faktor ketersediaan akses. Faktor ini berkaitan erat dengan masalah geografis. Daerah – daerah tertentu terkadang masih ada yang belum tersentuh internet. Keterbatasan penyedia layanan dalam memasok jaringan internet ke seluruh penjuru masih belum bisa maksimal. Seperti di daerah – daerah pedalaman atau pinggiran terkadang masih sulit untuk dijangkau jaringan karena lokasi yang masih belum memungkinkan untuk dipasok jaringan internet. Akibatnya masyarakat pada daerah tersebut seakan terisolasi untuk mengetahui daerah luar.
Contoh kasus dalam hal ketersediaan akses ini datang dari Andri Kristian, seorang guru yang berasal dari Surabaya. Sejak tiga tahun yang lalu beliau mengabdi di Distrik Mbua Kabupaten Nduga Sentani Papua. Beliau bercerita pengalamannya mengajar di Papua. Bila sedang berada di Mbua beliau akan sangat sulit dihubungi karena ketiadaan koneksi internet dan telepon. Orang – orang yang ingin menghubungi beliau harus melalui rekannya yang ada di Wamena terlebih dahulu. Di mana jarak dari tempatnya ke Wamena menghabiskan waktu sekitar empat jam dengan akses jalan yang harus menapaki daerah yang terjal dan curam selama dua hari satu malam. Beliau menuturkan bahwa daerah tersebut benar – benar terisolasi karena kondisi geografis di daerah tersebut sehingga tidak ada relawan yang mau mengunjungi disrik Mbua tersebut. Hanya ia seorang diri yang bertekad mengabdi pada daerah tersebut. (Kompasiana, 2016).
Itulah tadi beberapa kasus yang menjadikan teknologi komunikasi seakan - akan 'tak berdaya' pada masyarakat - masyarakat tertentu. Di tengah - tengah perkembangan teknologi komunikasi yang semakin menyita perhatian masyarakat sehingga melupakan tradisi berkomunikasi leluhur, ternyata masih banyak masyarakat - masyarakat yang masih belum siap untuk menerima perkembangan teknologi komunikasi yang sangat beragam. Hal itu sangat nyata kontras dengan kehidupan sebagian masyarakat yang kebutuhan akses informasinya telah terpenuhi, sehingga menjadikan ketimpangan penerimaan informasi pada masyarakat. Kesimpulan yang dapat kita ambil dari opini diatas yaitu aksesibilitas teknologi komunikasi selain memiliki aspek optimis juga memiliki aspek pesimis. Kita sebagai generasi yang telah ‘melek media’ harus berkaca pada mereka yang tidak mendapatkan kesempatan seperti yang kita dapat. Hendaklah kita semua bijak dalam bermedia agar tercipta harmonisasi dalam kehidupan.
Daftar Pustaka :
Lievrouw, Leah A. & Sonia Livingstone. 2006, Handbook of New Media : Social Shaping and Social Consquences of ITCs, Sage Publication Ltd. London.
Renpouinn, Kanno. 2011, "Suku Baduy : Eksis Meski Tanpa Teknologi", www.jadiberita.co, diakses pada 21 Maret 2017
Damanik, Rahayu Setiawati. 2016, "Andri Kristian seorang Guru di Pedalaman Papua (Tanpa Listrik, Sinyal Telepon, & Koneksi Internet)”, www.kompasiana.com, di akses pada 21 Maret 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar