Kegelapan yang tenang ini kunikmati. Menyatukan badan dengan kasur kapuk favoritku yang telah lama tak kusinggahi. Lelap ini begitu nyaman, sudah lama aku tidak merasakan lelap yang seperti ini semenjak aku menuntut ilmu di sebuah perguruan tinggi di Kota Bandung.
Sayup – sayup terdengar suara kenthongan penanda waktu sahur. Sebuah tradisi di kampungku yang mungkin tak akan pernah lekang oleh modernisasi. Tak lama kilauan cahaya menyergap mukaku, ibu menyalakan lampu kamarku seraya menyuarakan suara khasnya ketika membangunkanku sahur, “Mas Rio, ayo sahur dulu nanti tidur lagi”. Mataku masih melawan terjangan cahaya lampu sambil perlahan bangkit dari tidurku.Di meja makan telah tersedia hidangan sahur yang menggugah selera. Ibuku yang jago memasak memang selalu menyajikan hidangan sahur terbaik untuk keluarga kecilnya.
“Mana ayah?” Tanyaku sambil menyiduk nasi ke piring.
“Biasa, sedang kepayahan membangunkan adikmu” sahut ibu.
Tak lama ayah menghampiri meja makan sambil menggendong manja adik perempuanku yang masih setengah tertidur. Didudukannya ia oleh ayah di bangku sebelahku namun adikku tetap saja tertidur. Aku tersenyum geli. Adikku yang masih selustrum itu memang sudah mulai diajarkan berpuasa oleh ayah dan ibu. Sama sepertiku dulu. Ayah dan ibu selalu menanamkan nilai – nilai agama sejak dini kepada putra – putrinya.
“Hei, Mas, siapa yang membangunkanmu saat sahur di Bandung sana?” Ibu memulai percakapan sambil menyuapi adik perempuanku.
“Bangun sendiri bu, kadang dibangunkan teman” Jawabku
“Terus makan sahurnya bagaimana?” lanjut ayah.
“Biasanya beli di warung depan kost atau malamnya sehabis tarawih Rio beli lauk untuk sahur”
Suasana sahur di rumah memang suasana yang paling hangat. Apalagi aku baru pernah mengalami berjauhan dengan keluarga. Di tahun pertama kuliahku ini rasanya waktu berkumpul bersama keluarga adalah waktu yang sangat berharga. Aku sadar bahwa ayah dan ibu pasti mengandalkan anak laki – laki sulungnya untuk menjadi apa yang mereka doakan setiap waktu.
Aku memperhatikan adik kecilku, Ratih yang sedang berusaha mengunyah makanannya sambil melawan rasa kantuk. Tetiba terlintas dipikiranku akan pertanyaan – pertanyaan mendalam. Mengapa umat islam harus berpuasa? Mengapa ayah dan ibu harus bersusah payah membangunkan putra – putrinya di pagi buta ketika bulan ramadhan dan melaksanakan sahur? Mengapa sejak kecil aku dan adikku dilatih untuk menahan nafsu? Mengapa ibu rela memasak untuk sahur tanpa menghiraukan rasa kantuknya? Mengapa ayah selalu mengajak shalat berjamaah setiap waktu? Dan mengapa pula orang – orang selalu mengajarkan kebaikan?
Lantas bagaimana kehidupan orang – orang diluar sana yang sejak lahir tidak diperkenalkan agama oleh keluarganya? Apakah mereka akan terus mencari siapa Tuhannya ataukah ia hanya akan mengikuti alur kehidupannya saja? Dan bagaimana dengan orang – orang yang diperkenalkan agama orang tuanya sejak kecil dan mereka hanya menerimanya, menjalankan perintah agamanya tanpa mencari tahu apa sejatinya Tuhannya itu?
Aku yang sebenarnya adalah orang yang sedang melakukan pencarian. Pencarian tentang kehidupan. Mengapa Tuhan berbeda - beda sedangkan manusia adalah manusia yang sama? Aku selalu mengagumi orang – orang yang mau mencari tahu asal muasal kehidupannya. Bagiku, hidup bukan berasal dari spekulasi, perlu ada keyakinan terhadap pilihan dan konsekuensi yang diambil. Orang – orang yang mencari tahu akan bertanya – tanya dan pada waktunya mereka akan menemukan. Mereka adalah orang yang memilih karena memahami, menyadari, meyakini kemudian mengakui. Tentu saja nanti dalam penerapan kehidupannya keimanan mereka akan lebih kokoh jika dibandingkan orang – orang yang hanya bisa menerima saja doktrin dari orang – orang yang dianggap benar tanpa ada sedikitpun dalam dirinya 'menyadari'. Karena orang – orang yang mencari tahu paham dengan apa yang menjadi pilihannya.
Pelan - pelan aku mulai menyadari bahwa tuntunan agama akan tetap benar, hawa nafsulah yang merusak segalanya. Orang - orang menjadikan agamanya sebagai benteng dari kesalahannya karena tidak memulai agamanya dengan 'mencari tahu'. Aku yang terlahir sebagai pengikut agama orang tuaku akan terus mencari hingga menemukan jati diri agamaku. Aku tidak ingin menjadi seperti orang – orang memprihatinkan diluar sana yang hanya menjalankan segala tuntutan agama tanpa mengimaninya. Aku tidak ingin setengah – setengah menjalani kehidupan.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar